Ade Sopyan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sabtu, 04 April 2015

Tidak Lulus UN (UJIAN NASIONAL) Bukan Akhir dari Segalanya

Ujian Nasional atau yang disingkat UN sekarang telah menjadi momok menakutkan bagi sebagian banyak orang mulai dari peserta didik, orang tua peserta didik, guru dan pemerhati pendidikan ada yang pro dan ada yang kontra dalam menyikapi UN tersebut.

      Mungkin ini bukanlah tulisan ilmiah tentang UN, hanya opini seorang mahasiswa yang pernah melewati UN tersebut pada tahun 2012 menurut pandangan saya UN pada waktu itu memang memicu banyak  perubahan di sekolah ketika kita menginjak kelas 3 atau kelas 12 guru-guru kami sudah sering mengingatkan tentang UN persiapan-persiapan banyak direncanakan secara resmi (dari guru) atau dari siswa sendiri baik secara individu maupun kolektif, yang paling menarik bagi saya pada saat UN tersebut juga memicu saya dan teman-teman pada umumnya lebih religius meminta pertolongan kepada yang maha kuasa untuk memudahkan UN nanti.

      Dari pengalaman tersebut saya rasakan bahwa UN memberikan tekanan atau lebih tepatnya tantangan kepada kita untuk bisa lulus atau secara pribadi saya tidak mengincar untuk bisa lulus, untuk apa lulus dengan hanya nilai 4.25 tapi mengincar nilai sempurna, dengan tantangan bahwa kelulusan kita ada ditangan kita tanpa ada bantuan dari siapapun. Saya pribadi merasa tertantang walau memang ada kekhawatiran entah itu secara teknis (buletinnya kurang hitam, keluar garis atau lembarannya rusak) atau juga mungkin bisa saja sakit atau kurang fit ketika UN.

      Secara umum saya melihat tantangan yang mungkin membuat stress tersebut juga diperlukan untuk dapat membentuk keseriusan dalam menghadapinya dan itu bisa membuat obyektifitas tanpa campur tangan guru, mungkin opini saya terlihat sadis atau sombong tapi menurut saya dalam ujian wajar ada yang berhasil dan gagal dalam kontek UN yang gagal tidak lulus kalau memang tidak lulus berarti dia tidak berhak untuk lulus belum kompeten silakan mengulang salah bila yang tidak berhak lulus diluluskan untuk mengejar image sekolah atau gengsi individu atau kelompok.

    Saya yakin bila yang menentukan kelulusan adalah sekolah atau guru kebanyakan dari mereka tidak akan kuat untuk tidak meluluskan yang secara jelas mereka lihat tidak layak untuk lulus, maksud saya dengan tidak kuat adalah dalam hal tega karena kebanyakan kita sering merasa kasihan hingga mempengaruhi objektifitas dan lebih memilih subyektifitas yang semu, juga tidak kuat untuk menghadapi tekanan baik itu dari orangtua wali (terutama wali yang punya pengaruh atau kekuasaan), kepala sekolah yang mengejar gengsi sekolah, komite sekolah dan kekuatan-kekuatan lain hingga hasilnya adalah keberhasilan 100 persen yang semu atau bisa dikataakn kurang jelas atau transparan.


     Tidak mungkin tidak ada yang tidak lulus dalam ujian dari sebegitu banyak peserta Ujian Nasional akan tetapi dengan mengetahui itu bukankah bisa diketahui boroknya kita dan kita bisa menghadapinya dari pada selalu mengatakan semua baik-baik saja, semua lulus akan tetapi menyembunyikan persoalan-persoalan yang apabila diteruskan akan menumpuk hingga?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar